•  

Laporan dari Den Haag
RMS Tagih Janji Gus Dur

Reporter: Eddi Santosa

detikcom - Den Haag, Selain kelompok massa Maluku berbendera Republik Maluku Selatan (RMS) yang ngluruk ke lokasi peringatan HUT RI ke-55 di Wisma Duta, Wassenaar, delegasi penting RMS juga mendatangi kantor KBRI di Jl. Tobias Asserlaan No. 8, Den Haag. Mereka datang untuk menagih pemerintah Gus Dur. Menagih apa?

Kabidpol KBRI Den Haag, Fahmi Pasaribu, yang dijumpai Kamis (17/8/2000), seusai kembali dari kantor KBRI mengatakan bahwa dialog berlangsung terbuka dan dalam suasana ramah. "Delegasi mereka saya terima di ruang tamu. Ini sudah menjadi kebijakan Pak Dubes, bahwa kita mengutamakan dialog dan persaudaraan. Kita menghargai sikap mereka, mereka pun saya harap bisa menghargai sikap kami," tuturnya.

Dijelaskan oleh Fahmi, delegasi RMS tersebut bermaksud menyampaikan pernyataan sikap yang ditujukan kepada presiden. Ketika dicecar apa isi pernyataan RMS tadi, Fahmi menolak dengan diplomatis bahwa pernyataan itu untuk presiden, bukan untuk dirinya atau KBRI, sehingga pihaknya tidak punya hak sama sekali.

Sementara itu Sekretaris Kongres Nasional Maluku, Willem Sopacua, yang dihubungi detikcom melalui telepon genggam, Jumat (18/8/2000), menjelaskan bahwa pihaknya hendak menagih follow-up dari dialog-dialog yang sudah dilakukan antara Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Gus Dur dengan Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) demi penyelesaian konflik di Maluku yang sampai kini belum juga padam.

"Pemerintah Republik Indonesia melalui Gus Dur telah menaruh kepercayaan kepada Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) dan organisasi-organisasi RMS untuk memulai suatu dialog di Jakarta pada September 1999. Selanjutnya di Ambon, Desember 1999 dan pada akhirnya di Den Haag pada tanggal 3 Pebruari 2000 yang lalu," papar Sopacua yang kemarin memimpin langsung delegasi RMS ke KBRI.

Tapi menurut Sopacua, dari rangkaian dialog dengan pemerintah Indonesia yang kini dipimpin Gus Dur tersebut makin lama semakin tidak jelas kelanjutannya. Sedangkan korban di Maluku terus saja berjatuhan. Dialog-dialog yang dilakukan terkesan seolah-olah hanya menjadi akal-akalan pihak pemerintah Indonesia saja.

"Pertanyaan kami pada saat ini adalah apa hasil dan gunanya (dari dialog) ini semua? Di mana posisi kami saat ini?" tanya Sopacua.

Bukan hanya itu kekecewaan RMS yang diwakilinya. Diungkapkan, rekomendasi-rekomendasi yang disisipkan pada pertemuan di Den Haag, 3 Pebruari yang lalu, sampai kini juga tidak diperhatikan oleh pemerintah Gus Dur. Bahkan faksimili yang dikirimkan RMS ke alamat presiden Gus Dur, tidak pernah dibalas.

"Sehingga kami merasa seakan-akan kami sebenarnya tidak dianggap serius oleh Gus Dur," keluh Sopacua dengan nada kecewa.

Atas dasar fakta-fakta di atas, RMS menghendaki ketegasan sikap pemerintah Indonesia mengenai posisi masing-masing dan mengenai masa depan Maluku. Sopacua mengharapkan presiden Gus Dur mau menjawab pernyataan yang disampaikan pihaknya melalui KBRI Den Haag dan bersedia mengatur pertemuan antara delegasi RMS dan Kongres Nasional Maluku dengan Menlu Alwi Shihab, yang direncanakan akan berkunjung ke Belanda, akhir bulan ini.

Seandainya presiden Gus Dur tak memenuhi harapan RMS, apa yang akan RMS lakukan? Menjawab pertanyaan detikcom ini, Sopacua mengatakan, "Jika Gus Dur ternyata bermain-main dengan kami dan ternyata pertemuan dengan kami selama itu hanya sekedar window dressing saja, maka kami akan meneruskan perjuangan kemerdekaan Maluku dengan cara kami sendiri!"

 
TENTARA AUSTRALIA DI MALUKU?
Oleh: Buni Yani, mahasiswa S2 Ohio University, AS
 Rabu, 16 Agustus 2000, @00:34 WIB

Setelah serdadu-serdadu Australia itu berhasil menunjukkan bahwa Indonesia tak berdaya memadamkan kekacauan di Maluku, mereka lalu berkonvoi dan berbaris keliling kota untuk merebut hati rakyat. Sebagian besar Muslim menolak, hampir seluruh pemeluk Kristen dengan suka cita mengelu-elukan kedatangan "sang pahlawan" pembawa perdamaian.

Komandan serdadu lalu bertanya kepada rakyat, apa pendapat mereka tentang pemerintahan Indonesia? Apakah mereka masih mempercayai kemampuan Indonesia melindungi dan mengelola warganya? Apakah mereka ingin tetap dalam wilayah Indonesia atau memisahkan diri? Menjawab pertanyaan itu, masyarakat Maluku terpecah lagi menjadi dua, ada yang setuju, ada yang tidak. Komandan serdadu lalu mengajukan pertanyaan pamungkasnya, apa Saudara-saudara sekalian ingin referendum saja?

Mimpi buruk itulah yang pertama kali terbayang ketika Australia kembali dengan high profil berminat "membantu" Indonesia dalam memecahkan sengketa berbau agama di Maluku dan Maluku Utara. Usaha Menteri Australia John Moore melobi Menteri Pertahanan AS William Cohen (The Jakarta Post, 18/7) adalah langkah awal yang patut menjadi perhitungan masyarakat Indonesia untuk melihat apa agenda Australia di balik tawaran itu.

Cohen mengakui kemampuan Australia dalam mengelola keamanan di wilayah Asia Tenggara. Mengenai konflik di Maluku, Cohen berkata, "…we believe Australia is closer to the situation. That we look for some leadership on the part of Australia in terms of formulating our own policies in the region (….kami percaya Australia lebih dekat dengan persoalan di sana. Kami mencari sebagian kepemimpinan Australia dalam hal merumuskan kebijakan-kebijakan kami di wilayah ini)" (Reuters, 17/7).

Kepercayaan AS terhadap Australia bukanlah tanpa alasan. Masih segar dalam ingatan bagaimana tentara Australia memimpin tentara PBB ketika referendum dilaksanakan di Timtim pada Agustus 1998. Alih-alih menjadi penonton dan fasilitator referendum yang adil, seperti dituduhkan sebagian masyarakat Timtim, tentara Australia malah telah mengotori tangan mereka dengan mendukung masyarakat Timtim prokemerdekaan.

Masyarakat Indonesia dan pemerintahan Abdurrahman Wahid perlu kiranya mempertimbangkan beberapa hal mengenai "niat baik" Australia tersebut untuk "membantu" Indonesia menangani kasus Maluku.

Pertama, adagium yang mengatakan bahwa kepentinganlah yang abadi dalam politik kiranya berlaku dalam setiap kebijakan luar negeri pemerintah Australia. Pemerintah Australia tak segan-segan menunjukkan "kemunafikannya" dalam hal Timtim. Di masa pemeritahan sebelumnya, pemerintah Australia mendukung integrasi Timtim ke dalam wilayah Republik Indonesia. Australia ketika itu tergolong berani keluar dari mainstraim ketika PBB tak mengakui integrasi Timtim ke dalam wilayah Indonesia. Tapi di masa Timtim diberikan kesempatan untuk melaksanakan referendum, Australia berbalik arah dengan mulai menunjukkan jati diri sesungguhnya. Pengalaman tak sedap ini bukan tak mungkin terjadi pada Maluku bila penanganan keamanannya dipercayakan kepada Australia.

Kedua, "niat baik" pemerintah Australia ini haruslah memiliki standar yang jelas. Bila ingin membantu Indonesia dalam memecahkan konflik berkepanjangan di Maluku dan Maluku Utara, harus jelas tujuan dan sasarannya. Pemerintah Indonesia melalui Menlu Alwi Shihab telah berulang kali menegaskan tak akan ada campur tangan tentara asing untuk mengatasi kemelut di Maluku. Campur tangan asing hanya diperbolehkan dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Pernyataan Menlu kiranya isyarat yang positif untuk membendung menggebu-gebunya "niat baik" Australia tersebut.

Namun satu hal yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana melaksanakan komitmen untuk tidak membiarkan pasukan asing turut campur dalam konflik Maluku. Diplomasi intensif untuk itu diperlukan. Tidak saja untuk melobi Mabes PBB, AS dan Australia, namun juga negara-negara yang potensial menjadi sekutu Australia untuk mewujudkan niatnya itu. Karenanya, diplomat-diplomat di setiap Kedutaan Besar RI perlu diberdayakan seoptimal mungkin agar tidak terulang lagi tragedi diplomasi seperti pada kasus Timtim.

Ketiga, segala bentuk "bantuan" dan "niat baik" masyarakat Australia, terutama yang terlembaga dalam bentuk LSM-LSM haruslah menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Harus diakui bahwa LSM bukanlah suatu organisasi tanpa kepentingan dan agenda. Pengalaman buruk kasus Timtim mengajarkan bahwa label kemanusiaan yang distempel dalam setiap bantuan organisasi-organisasi internasional, termasuk yang berasal dari Australia, kini harus kembali dipertanyakan.

Logika sederhana bisa menjelaskan hal ini. Kenapa lembaga-lembaga itu ribut-ribut mengenai kericuhan di Timtim, sementara pembantiaan oleh militer di Aceh dianggap sepi saja oleh mereka? Dengan kenyataan ini, patut menjadi kecurigaan bahwa ada sentimen primordial yang paling dalam yang melibatkan setiap "niat baik" dalam bentuan "bantuan" kemanusiaan itu. Dan sentimen primordial ini yang sangat gampang dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Keterlibatan aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) dalam konflik berkepanjangan di Maluku dan Maluku Utara masih perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut. Indikasi ke arah itu telah banyak disinyalir, terutama oleh golongan Muslim garis keras. Teori konspirasi ini menyebutkan adanya keterlibatan aktivis RMS di Belanda yang ingin "come back" memanfaatkan suasana politik di Tanah Air yang sedang tidak menentu.

Namun cendekiawan seperti Goerge Aditjondro (makalah, 2000) membantah kongkalikong seperti ini. Suara bantahan lain yang lebih keras mengatakan bahwa teori konspirasi ini hanya dipercayai oleh orang yang mengidap paranoia. Bisa jadi kalangan Muslim garis keras mengidap penyakit semacam "paranoia" yang selalu ketakutan setelah begitu lama terpinggirkan dalam setiap wacana ekonomi, sosial dan politik di Tanah Air.

Namun kiranya patut menjadi pertimbangan bagaimana aktivisme RMS ini mendapat perhatian pers di Belanda. Koran-koran seperti Rotterdams Dagblad dan Haagsche Courant masih terus memberitakan kegiatan-kegiatan RMS hingga kini, yang bisa ditafsirkan sebagai RMS belum mati dan akan terus berjuang untuk tujuan mereka.

Pada tahun 70-an, aktivis-aktivis RMS di Belanda tak segan-segan melakukan teror dan kekerasan dalam bentuk pembajakan kereta api, pembunuhan dan penyanderaan untuk menekan pemerintah Belanda agar bersedia memberikan dukungan kepada mereka, serta menekan pemerintah Indonesia untuk mengakui mereka sebagai negara merdeka (Bartels, 1977:1).

Dengan lanskap sosial-politik seperti ini, di mana indikasi ketelibatan RMS sebagai salah satu biang keladi masalah di Maluku, kecurigaan terhadap setiap organisasi luar negeri yang berlabel kemanusiaan memiliki dasar. Organisasi-organisasi internasional yang berkedok kemanusiaan bisa saja menyerupai RMS yang memiliki agenda tersendiri di Maluku. Sentimen kesamaan agama akan menjadi perekat yang dalam untuk menjalin kerja sama, dan bukan tak mungkin untuk memisahkan diri dari NKRI.

Keempat, asumsi bahwa masyarakat Australia memiliki pandangan yang kritis terhadap setiap gerak langkah pemerintah Indonesia tercermin dalam pemberitaan-pemberitaan persnya. Bila beberapa LSM di Australia memiliki spesifikasi khusus untuk perjuangan kemerdekaan Timtim, maka seolah telah menajdi kesepakatan tak tertulis bagi kalangan pers untuk mengikuti trend serupa. Pers Australia tanpa membicarakan Indonesia, ibarat sayur tanpa garam, hambar dan tak enak rasanya. Dan membicarakan Indonesia tanpa menyinggung Timtim, sama nekatnya dengan mendirikan perusahaan pers untuk tak dibeli. Selalu yang menjadi agenda setting pers Australia ketika membicarakan Timtim adalah bentuk simpati mendalam terhadap Timtim karena telah "dicaplok" Indonesia dan tak pernah diakui PBB. Melihat pengalaman buruk ini, cukup beralasan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menangani keterlibatan masyarakat Asutralia, termasuk persnya, di Maluku.

Kelima, lobi penentu untuk masuknya pasukan asing di Maluku kelihatannya ada di tangan AS, itu sebabnya Menteri Pertahanan Australia John Moore amat "ngebet" membicarakan kondisi di Maluku ketika Menteri Pertahanan AS William Cohen berkunjung ke Australia baru-baru ini. Moore memainkan kartunya setelah mengetahui pemerintah AS memiliki perhatian yang besar terhadap kondisi di Maluku. Juru bicara Deplu AS Philip Reeker secara resmi meminta "pemerintah Indonesia harus mencegah kelompok-kelompok terorganisir yang melakukan serangan dan menghentikan para ekstrimis dari luar Maluku yang memanas-manaskan situasi dan terlibat dalam kekerasan" (Antara, 22/6). Statemen keprihatinan AS ini dimanfaatkan oleh Menhan Australia untuk mengintensifkan lobinya agar bisa masuk ke Maluku.

Keenam, langkah Sekjen PBB Kofi Annan menelepon Presiden Abdurrrahman Wahid untuk menanyakan keadaan di Maluku bisa ditafsirkan sebagai bagian dari "pengeroyokan" terhadap Indonesia oleh masyarakat internasional dari segala arah agar mengijinkan pasukan asing atau PBB masuk ke Maluku. Sebelumnya terdengar kalangan gereja di Australia menggalang simpati serupa, lalu 24 LSM Jepang, dan bukan tak mungkin hal ini akan menggelinding bagai bola salju bila tak mendapatkan penanganan serius. Sebelumnya hanya terdengar Human Rights Watch yang memberikan laporan secara teratur mengenai perkembangan di Maluku yang disertai rekomendasi-rekomendasi mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengatasi persoalan di daerah itu. Sementara Amnesty Internasional kurang tertarik dengan masalah Maluku dan hanya memberikan sedikit porsi dalam laporan-laporannya, itu pun di bawah topik Timtim.

Kelihatannya Presiden Abdurrahman Wahid percaya terhadap Annan bahwa persoalan Maluku tak akan dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Namun seperti dikatakan oleh Abdurrahman Wahid sendiri bahwa Annan "akan mencoba meyakinkan bahwa usulan-usulan (untuk pasukan di Maluku) tak akan dfimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB (will try to ensure that these proposals [for foreign troops in Maluku] will not be put on the agenda of the UN Security Council)" (The Jakarta Post, 18/7). Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa harapan Bapak Presiden itu akan menjadi kenyataan? Basa-basi diplomatik tingkat tinggi selalu sulit untuk ditafsirkan. Seringkali kenyataan di lapangan tak ada sangkut pautnya dengan janji-janji dan basa-basi.

Melihat beberapa faktor di atas, sudah cukup alasan untuk mempercayai adanya agenda untuk memasukkan pasukan asing atau internasional ke Maluku melalui lobi-lobi internasional. Seperti pengalaman kasus Timtim, pasukan Australia kelihatannya yang paling mungkin untuk direkomendasi PBB, setelah mendapat dukungan AS, untuk beroperasi dan menajdi komando di sana. Bila agenda masuk Maluku ini sudah tercapai, sulit menebak apa yang ada di balik kepala pemerintah Australia dengan sederet pengalaman tak sedap berhubungan dengan mereka. Bisa jadi mimpi buruk itu benar-benar terjadi. ***

 

 

 

 

Mukadimah Buletin Aqidah Manhaj Info Maluku Tanya-Jawab Pers

 

 

 

 

 

 

 

brita aktual