Mukadimah Buletin Aqidah Manhaj Info Maluku Tanya-Jawab Pe

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertanyaan 1:

Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh

  1. Ustadz, bagaimana hukum adzan Jum'at dua kali seperti yang dilakukan oleh Utsman radliyallahu `anhu, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari jilid 1 halaman 116: "Dari Saib bin Yazid, beliau berkata: Adzan permulaannya ketika imam duduk di atas mimbar (dan apabila hendak shalat) di hari Jum'at (pada pintu masjid) di jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar. Tatkala pada jaman Utsman dimana manusia sudah banyak (dan rumah-rumah berjauhan) maka Utsman memerintahkan untuk menambah adzan ketiga (di dalam satu riwayat: adzan pertama, dan diriwayatkan: adzan kedua) pada hari Jum'at di atas suatu tempat di pasar yang dinamakan az-zaura."
  2. Jika itu disunnahkan mohon dijelaskan, dan jika itu bid'ah bagaimana dengan hadits yang mengatakan: "Wajib atas kalian memegang sunahku dan sunnah khulafaur rasyidin al-mahdiyin?" Atas penjelasannya saya ucapkan jazakallahu khairan.

    Wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh
    (Shalihul, Surakarta)

Jawaban 1:

  1. Saudara Shalihul, suatu yang sudah pasti bahwa adzan yang syar'i ialah apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan adzan di hari Jum'at yang dilakukan di jaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar hanyalah satu kali yaitu ketika imam duduk di atas mimbar. Sedangkan adzan Jum'at di jaman Utsman dilakukan sebanyak dua kali, berarti apa yang dilakukan di jaman Utsman berbeda dengan apa yang dilakukan di jaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan dua khalifah sesudahnya. Maka kita boleh mengamalkan adzan dua kali di hari Jum'at --sesuai perbuatan Utsman di jamannya-- jika sebab-sebab / alasan-alasannya cocok dengan apa yang terjadi di jaman Utsman tersebut.
  2. Jika kita menyimak hadits yang saudara bawakan maka kita dapati sebab apa yang mendorong Utsman radliyallahu `anhu melakukan adzan dua kali, yaitu banyaknya manusia dan jauhnya rumah-rumah dari masjid nabawi yang mana dengan sebab ini suara adzan muadzin tidak terdengar oleh sebagian besar manusia. Sebab seperti ini hampir tidak terwujud di jaman kita sekarang ini, karena banyaknya masjid dan jelas / tersebarnya suara adzan yang dikumandangkan dengan pengeras suara. Maka tujuan dilakukannya adzan dua kali di jaman Utsman telah tercapai di jaman kita sekarang ini walaupun tanpa adzan dua kali, yaitu mengumumkan kepada manusia bahwa waktu shalat Jum'at sudah tiba. Maka barangsiapa --di jaman kita sekarang ini-- mencontoh adzan Utsman tanpa memperhatikan sebabnya, berarti dia pada hakekatnya tidak mencontoh Utsman radliyallahu `anhu, bahkan dia menyelisihinya karena tidak melihat sebab apa yang menyebabkan ditambahnya adzan Jum'at menjadsi dua kali, yang kalau bukan karena sebab ini tidak mungkin Utsman akan menambah-nambah sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan dua khalifah sesudahnya. Untuk lebih jelasnya silakan saudara baca kitab Al-Ajwibah An-Nafi'ah `an Ailati Lajnah Masjidil Jami'ah karya Syaikh Al-Albani.

 

Pertanyaan 2:
  1. Bagaimana hukumnya membangunkan orang tua yang sedang istirahat / tidur jika kita mengetahui beliau belum menunaikan ibadah shalat padahal sudah tiba waktunya sampai waktu shalat akan habis ?
  2. Bagaimana caranya mengganti hutang puasa ibu saya yang meninggal dalam keadaan berhutang puasa satu bulan? Adapun untuk membayar fidyah saya belum mampu karena belum bekerja. Mohon dijelaskan dalil / hukumnya.
  3. Bagaimana hukumnya memakan hidangan yang berasal dari peringatan kematian seseorang (40 hari, 1 tahun dsb)?

Demikian pertanyaan saya, atas perhatian dan jawaban ustadz, sebelumnya saya ucapkan jazakumullah khairan.

(IH. Di Yogyakarta)

jawaban 2:

Ananda... untuk menjawab pertanyaan ananda kami nyatakan:

  1. Tanpa diragukan lagi bahwa shalat adalah perkara yang wajib, yang meninggalkannya akan mendapat dosa. Jika orang tua ananda sedang istirahat / tidur, dan keduanya belum menunaikan shalat padahal sudah tiba waktunya dan bahkan hampir habis, maka sebagai seorang anak, ananda mempunyai kewajiban mengingatkan keduanya untuk shalat. Tentunya dengan cara yang paling baik dan lembut serta tidak bersikap kasar terhadap keduanya, seperti membangunkannya dengan sikap lembut yang tidak mengejutkan / mengagetkan keduanya. Kemudian mengingatkan mereka dengan kalimat-kalimat yang baik bahwa waktu shalat sudah tiba atau hampir habis. Yang dengan sikap ini terwujudlah amar ma'ruf nahi munkar tanpa harus bersikap kasar terhadap orang tua.
  2. Tentang masalah mengganti hutang puasa orang tua ananda yang sudah wafat menurut pendapat yang rajih (kuat) ialah membayar fidyah sebagaimana yang dilakukan Anas radliyallahu `anhu. Tetapi jika hutang tersebut berbentuk nadzar puasa yang belum ditunaikan, maka keluarganya / walinya yang menggantikan puasanya. Pendapat seperti ini juga dijelaskan Imam Ahmad di dalam Masa'il Imam Ahmad dari riwayat Abu Dawud hal 966, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata: "Tidak boleh qalda / diganti puasa seseorang yang sudah mati kecuali karena nadzar." Abu Dawud berkata: "Aku bertanya kepada beliau: Bagaimana dengan bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Diganti dengan fidyah." Demikian pula jawaban Aisyah radliyallahu `anha ketika ditanya oleh Amrah tentang ibunya yang wafat dan punya hutang puasa bulan Ramadlan sebagaimana yang diriwayatkan At-Thahawi di dalam Musykilul Atsar 3/142 dan Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla 7/4 dengan sanad yang shahih. Jika hingga sekarang ananda belum mampu membayar fidyahnya, maka tundalah sampai ada kelapangan rezki yang Allah berikan untuk membayarnya.
  3. Acara peringatan kematian seseorang (7 hari, 40 hari, 100 hari dst) adalah perkara bid'ah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan termasuk dari apa yang Rasul sabdakan yang artinya : "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka tertolak." (HR. Muslim) Adapun makanan pada acara tersebut jika tidak diperuntukkan kepada selain Allah maka halal, tapi jika diperuntukkan untuk selain Allah maka haram. Namun perlu diperhatikan jika dengan ananda memakan makanan itu masyarakat /keluarga menganggap bahwa acara itu dibenarkan maka lebih baik tidak dimakan makanannya dan segera ditinggalkan. Wallahu a`lam.

 

Pertanyaan 3
  1. Ustadz yang saya hormati, saya minta penjelasan bagaimanakah hukumnya berdasarkan Al-Qur'an dan al-hadits bagi wanita yang safar dalam rangka menuntut ilmu tanpa disertai mahramnya? 

(Akhwat, Ujung Pandang)

Jawaban 3:

  1. Pada asalnya Islam memerintahkan bagi wanita tinggal di rumah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yang artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dulu...." (Al-Ahzab: 33) Dan mereka boleh keluar rumah / safar jika disertai mahramnya. Adapun jika wanita keluar rumah tanpa mahram dalam rangka menuntut ilmu, maka jika memang wanita tersebut sama sekali tidak mendapatkan haknya (dalam masalah ini, ilmu agama yang menyelamatkan dirinya dari kesesatan dan dapat menunaikan kewajiban agamanya), ia boleh keluar rumah sekedar mendapatkan haknya tersebut (sebagaimana yang pernah dijelaskan di rubrik ini pada edisi III). Tetapi jika di rumahnya ia mampu mendapatkan hak tersebut seperti belajar melalui kaset-kaset, buku-buku dan lainnya, maka wanita tersebut lebih utama untuk tinggal di rumah. Sebagaimana yang dijawab Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di dalam kitabnya As-Shahwah Al-Islamiyah hal. 147.