Mukadimah Buletin Aqidah Manhaj Info Maluku Tanya-Jawab Pe

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertanyaan 1:

Ustadz yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, ananda ingin mengajukan pertanyaan yang berhubugan dengan shalat:

  1. Bagaimana hukum shalat Jum'at bagi wanita?
  2. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memulai shalat dengan membaca takbir. Apakah ini berarti bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membaca niat (ushali....)?
  3. Di manakah letak doa-doa dalam shalat, sesudah atau sebelum membaca tasyahhud? Dan samakah bacaan tasyahhud awal dan tasyahhud akhir?

Atas penjelasan Ustadz, ananda Jazakallahu khiran
(Ida Dwi Sunarti, Bandar Lampung)

Jawaban 1:

Ananda Ida yang semoga selalu dibimbing Allah Subhanahu wa Ta'ala, setelah memahami pertanyaan ananda maka kami jawab sebagai berikut:

  1. Para ulama telah sepakat dan tidak ada perselisihan padanya bahwa shalat Jum'at tidak wajib bagi wanita, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah: "Adapun kaum wanita maka tidak ada perselisihan bahwa mereka tidak wajib melaksanakan shalat Jum'at." (Al-Mughni 2/338)
    Demikian pula yang dinyatakan Al-Imam Al-Khattabi di dalam Ma'alimus Sunan 1/64, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla 5/55, Al-Imam As-Shan'ani di dalam Subulus Salam hal 479, Al-Imam As-Syaukani di dalam Nailul Authar 3/667 dan selain mereka dengan membawakan dalil-dalil yang rinci pada kita-kitab mereka tersebut.
    Adapun jika wanita melaksanakan shalat Jum'at, maka shalatnya sah dan tidak perlu melakukan shalat dzuhur lagi sebagaimana halnya lelaki, demikian yang dijelaskan Al-Imam An-Nawawi di dalam Majmu Syarhul Muazzab 4/495.
  2. Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memulai shalat dengan membaca takbir adalah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim serta imam-imam hadits yang lainnya. Dan memang benar kalau tidak membaca niat (ushali...) atau yang semisalnya dengan lisannya (dikeraskan). Karena yang demikian tidak pernah beliau contohkan kepada ummatnya. Barangsiapa yang mengamalkan demikian berarti ia telah melakukan bid'ah dlalalah, sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Al-Albani di dalam kitab beliau Sifat Shalat Nabi. Tetapi bukan berarti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berniat ketika hendakshalat, beliau berniat tetapi tidak dikeraskan dengan lisannya, Beliau bersabda yang artinya : "Sesungguhnya amalan-amalan dilakukan dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa yang diniatkan." (HR. Bukhari, Muslim dan selain keduanya)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan "Tempat niat adalah di hati bukan di lisan dengan kesepakatan imam-imam kaum muslimin pada seluruh bentuk indah." (Majmu'atur Rasailul Kubra 1/243)
  3. Tentang doa-doa yang dibaca pada waktu tasyahhud maka dilakukan setelah membaca bacaan tasyahhud, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah mengajarkan kepada shahabatnya lafadh doa yang harus dibaca yang artinya "Apabila salah seorang kalian selesai membaca bacaan tasyahhud akhir." (HR. Muslim)
    Adapun tentang bacaan / lafadh tasyahhud awal dan akhir tidak harus sama, karena lafadz tasyahhud ada beberapa macam. (Lihat Sifat Shalat Nabi karya Syaikh Al-Albani). Wallahu a'lam.

 

Pertanyaan 2:

Ustadz... Melalui rubrik ini saya hendak menanyakan suatu masalah, mudah-mudahan bermanfaat untuk saya dan kaum muslimin di dunia dan akhirat.

  1. Apakah dalam melakukan jima' (hubungan suami istri) harus dilakukan sedemikian sirrinya sehingga tidak boleh seorangpun dari anak-anak, saudara, orang tua kita dan yang selainnya melihatnya dan mendengar suara senda gurau hubungan tersebut?
    Atas jawabnya saya ucapkan jazakallahu khairan.

(Zahidah di B.A)

Jawaban 2:

  1. Memang benar dalam melakukan jima' harus dilakukan dengan sangat rahasia sehingga tidak seorangpun yang melihat atau mendengar suara senda gurau ketika melakukannya. Jangankan melakukannya dengan terang-terangan (tanpa merahasiakannya), menceritakan hubungan tersebut saja dilarang keras oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda di depan kaum lelaki dan wanita yang sedang duduk-duduk dan bersama beliau ada Asma bintu Yazid yang artinya : Mungkin ada seorang lelaki diantara kaum menceritakan apa yang yang ia lakukan dengan istrinya, dan wanita menceritakan apa yang ia perbuat dengan suaminya? Maka yang hadir ketika itupun diam dan tidak menjawab, lalu aku pun (Asma bintu Yazid) berkata: "Demi Allah, benar wahai Rasulullah." Sesungguhnya mereka melakukannya. Rasul pun bersabda: "Janganlah kalian itu melakukannya, karena yang demikian adalah seperti setan lelaki bertemu dengan setan wanita di tengah jalan lalu menyetubuhinya dan manusia menyaksikannya." (HR. Ahmad dan hadits ini mempunyai pendukung-pendukung dari hadits Abu Hurairah dan Salman serta selain keduanya)
    Demikian kerasnya larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini dan cumbu rayu suami istri juga termasuk dari perkara yang dilarang beliau untuk diceritakan apalagi sampai dilakukan terang-terangan di depan anak-anak, saudara, orang tuanya dan yang selain mereka. Wallahu a'lam.

 

Pertanyaan 3

Ustadz yang saya hormati, saya ingin meneruskan mengenai rukshah dalam shalat yakni:

  1. Orang sakit. Seperti apakah shalatnya dan apakah berlaku jama' qashar baginya?
  2. Kondisi cuaca. Rukshsah yang berkenaan dengan cuaca misalnya hujan atau panas, bagaimana batasannya dan apakah berlaku jama' qashar ketika itu.
  3. Musafir. Bagaimana tata cara jama' qashar yang syar'i dan bolehkah melakukan shalat di atas kendaraan?

Atas jawabannya saya ucapkan jazakallahu khairan, semoga Allah melindungi ustadz dan kita semua. Amin.
(Ibnu Mashuri As-Siribun, Purwokerto)

Jawaban 3:

Ibnu Mashuri...., tentang pertanyaan anda ini maka kami jawab sebagai berikut:

  1. Tentang orang sakit, tata cara shalatnya sama dengan orang yang sehat. Jika ia mampu melakukannya. Adapun jika ia tidak mampu maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan terhadapnya, sebagaimmana sabda beliau yang artinya :
    "Shalatlah engkau dalam posisi berdiri, kalau kamu tidak sanggup maka dengan duduk, dan kalau tidak sanggup juga maka dengan miring pada rusukmu." (HR. Bukhari dari Imran bin Husain radliyallahu `anhu)
    Pada hadits ini para ulama menjelaskan bahwa orang sakit yang benar-benar tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri hendaklah ia melakukannya dengan duduk, apabila juga tidak mampu maka dengan posisi miring pada rusuk (rusuk kanan lebih utama). Dan jumhur ulama menambahkan jika juga tidak mampu dengan posisi mirinng pada rusuk atau terlentang menghadap kiblat maka dengan isyarat mata, dan apabila juga tidak mampu maka getaran hati. Yang demikian lebih berhati-hati dari meninggalkan shalat yang dilarang oleh syariat.
    Tentang tata cara posisi shalat duduk juga dijelaskan oleh jumhur ulama, yaitu duduk bersila sebagai pengganti posisi berdiri dan ruku' dan duduk iftirasi sebagai pengganti posisi sujud, dengan cara menundukkan kepala ketika keadaan ruku' (sebagai pengganti gerakan ruku') pada keadaan duduk bersila dan menundukan lebih rendah kepalanya ketika keadaan sujud (sebagai pengganti gerakan sujud) pada keadaan duduk iftiras. Namun jika ia tidak mampu melakukan duduk model tadi maka silakan dengan duduk model yang ia mampu. Keterangan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang sakit: yang artinya : "Shalatlah kamu di atas bumi jika kamu sanggup, kalau tidak sanggup maka berilah isyarat (dengan kepala-pent) dan jadikanlah sujudmu lebih rendah daru rukukmu." (HR. Baihaqi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 314). Dan dari Aisyah radliyallahu 'anha, ia berkata: "Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan duduk bersila." (HR. Nasai dan dishahihkan Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Nasai, 1567). Demikianlah tata cara shalat berbaring yaitu dengan isyarat Adapun tentang jama' qashar maka tidak berlaku bagi orang sakit.
  2. Tentang kondisi cuaca, Rasulullah juga menjelaskan rukhsah padanya seperti cuaca panas atau hujan. Ketika cuaca sangat panas maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan untuk melakukan shalat tidak di awal waktu (ditunggu sampai dingin) sebagaimana sabdanya yang artinya : "Apabila udara sangat panas maka tunggulah sampai dingin untuk melaksanakan shalat, karena sangat panasnya cuaca/udara termasuk dari hembusan neraka." (HR, Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)Adapun batasannya adalah cuaca yang benar-benar sangat panas yang dapat merusak kekhusyuan shalat sesorang. Dan ketika cuaca hujan maka diberi keringanan untuk tidak shalat berjama'ah di masjid (di rumah saja) dan boleh untuk menjamak shalat magrib dengan Isya, sebagaimana perbuatan Ibnu Umar yang menjamak shalat Maghrib dan isya bersama para penguasa ketika cuaca hujan. (Riwayat Imam Malik di dalam Muwatthanya)
    Dan Al-Atsram meriwayatkan di dalam Sunannya dari Abu Salamah bin Abdur Rahman beliau berkata: "Termasuk perkara sunnah menjamak shalat Maghrib dan Isya ketika cuaca hujan kecil (gerimis)."
    Sedangkan jamak qashar maka tidak boleh dilakukan dengan sebab cuaca ini.
  3. Tata cara jama' qashar yang syar'i bagi seorang musafir ialah bila ia ingin menjamak antara Dzuhur dan Ashar, maka dilakukan pada waktu Dzhuhur, atau jika terlewatkan shalat Dluhurnya hingga masuk waktu Ashar maka dilakukan pada waktu Ashar. Gemikian pula menjamak Maghrib dan Isya. Dengan cara, shalat dua rakaat jika shalat Dluhur dan tiga rakaat jika shalat Maghrib terlebih dahulu hingga selesai dan langsung berdiri lagi untuk melanjutkan shalat berikutnya dengan dua rakaat.
    Perlu diketahui bahwa Rasulullah jika berangkat untuk safar sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirinya shalat Dhuhur dan menjamaknya pada waktu Ashar, tetapi jika sebelum berangkat sudah tergelincir maka beliau menjamak Dhuhur dengan Aashar demikian pula Maghrib dan Isya sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Qayyim di dalam Zadul Ma'ad 1/376 berdasarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya : Dari Muadz bin Jabal bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Tabuk apabila beliau berangkat sebelum tergelicir matahari beliau akhirkan shalat Dhuhur dan dijamak pada waktu Ashar (jama' ta'khir) Apabila beliau berangkat setelah tergelincirnya matahari, beliau shalat Dhuhur dan Ashar bersamaan pada waktu Dhuhur (Jama' takdim, pent) Kemudian beliau berangkat. Dan apabila beliau berangkat sebelum masuk waktu Maghrib, beliau akhirkan shalat Maghrib sehingga nanti dijamak pada waktu Isya, namun apabila beliau berangkat setelah masuk waktu shalat Maghrib, beliau segerakan shalat Isya, yaitu dengan dijamak bersama shalat Maghrib (di waktu Maghrib, pent) (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 1080)
    Tentang shalat di atas kendaraan meka itu diperbolehkan jika shalat sunnah. Adapun shalat wajib maka juga diperbolehkan jika ada uzur/halangan yang menghalangi untuk shalat di atas bumi,