Mukadimah Buletin Aqidah Manhaj Info Maluku Tanya-Jawab Pers

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertanyaan 1:

Ustadz, ana yang awam ini ingin bertanya:

  1. Batalkah wudlu kita apabila melihat maksiat?
  2. Bagaimana hukumnya habis / selesai shalat tidak berdzikir?

Atas jawabannya, ana ucapkan jazakallahu khairan.
(Az-Zahra, Palu)

Jawaban 1:

Jawaban 1:

Ananda Zahra, pertanyaan ananda kami jawab sebagai berikut:

  1. Wudlu tidaklah batal hanya dengan melihat maksiat, karena maksiat bukanlah pembatal wudlu.
  2. Berdzikir setelah shalat wajib hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Barangsiapa yang ingin melakukannya, berarti ia mengamalkan sunnah dan barangsiapa yang meninggalkannya, tidak ada dosa baginya. Akan tetapi yang afdhal baginya ialah mengamalkannya, karena berdzikir setelah shalat wajib adalah amalan yang selalu dilakukan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sebagaimana yang dijelaskan di dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Al-Mughirah bin Syu'bah radliyallahu `anhu.
    Dan barangsiapa yang tidak berdzikir hendaklah ia tidak berdiri kecuali bila imam sudah berbalik dariarah kiblat menghadap makmumnya. Demikian yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam Majmu' Fatawa 22/505 dan dinukil oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman di dalam kitabnya Al-Qaulul Mubin fiAkhtha'il Mushallin, hal. 297-298.
    Wallahu a`lam.

 

Pertanyaan 2:

Ana yang masih awam dalam hal Dien ini ingin menanyakan kepada Ustadz beberapa hal yang ingin sekali ana ketahui dengan disertai dalil-dalilnya:

  • Sahkah shalat malam apabila tidak cukup 11 rakaat?
  • Ana pernah membaca tentang makruhnya menahan kentut ketika shalat. Namun ada orang yang mengatakan boleh karena itu merupakan penyakit. Ana mohon penjelasan dari Ustadz.
  • Apakah ada dzikir dalam shalat malam pada setiap selesai dua rakaat?
  • Bagaimana tatacara menjama' shalat bagi musafir? Apakah ada shalat sunnahnya? Dan apakah ada dzikirnya?
  • Bagaimana hukum jual beli dengan non muslim, dan bagaimana kaitannya dengan al-wala' wal bara' yang sesungguhnya?
  • Atas perhatian dan jawaban Ustadz ana ucapkan jazakallahu khairan.
    (Aisyah, Sulteng)

    Jawaban 2:

    Ananda Aisyah, pertanyaan-pertanyaan yang ananda ajukan, kami jawab pada poin-poin berikut ini:

  • Melakukan shalat malam boleh saja tidak sampai 11 rakaat dan sah shalatnya, walaupun hanya melakukan satu rakaat shalat witir. Demikian yang dijelaskan Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawih hal. 83-84 dan Qiyamu Ramadlan hal. 22-23 dengan dalil perbuatan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan selain keduanya dengan sanad yang shahih dari Aisyah radliyallahu `anha, dan juga dengan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: "Witir itu adalah haq. Barangsiapa yang ingin melakukannya, hendaklah ia witir sebanyak lima rakaat dan barangsiapa yang ingin hendaklah ia witir tiga rakaat, dan barangsiapa yang ingin hendaklah ia witir satu rakaat." (HR. At-Thahawi dan Al-Hakim serta selain keduanya dengan sanad yang shahih)
  • Menahan kentut / buang angin adalah hal yang dilarang dilakukan dalam shalat, karena hal ini termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
    "Tidak boleh shalat di hadapan makanan dan tidak boleh pula ketika didorong oleh dua yang kotor (buang air besar dan kecil)." (HR. Muslim)
    Bahkan di antara para ulama ada yang menyatakan tidak sahnya shalat dalam keadaan demikian. Akan tetapi jumhur ulama menyatakan tetap sah walaupun dibenci (makruh), karena hal tersebut menyebabkan hilangnya kekhususan di dalam shalat.
    Dan menahan kentut, air besar dan air kecil boleh saja selama ketiganya tidak mendorong untuk keluar, seperti hanya sekedar rasa tidak enak / nyaman pada perut karena di dalam hadits disebutkan lafadh hadits yang maksudnya adanya suatu dorongan untuk keluar. Demikian yang dijelaskan Al-Imam As-Shan`ani di dalam Subulus Salam 1/288. Bahkan Imam Nawawi berpendapat jika dikhawatirkan habisnya waktu shalat apabila didahulukan buang air besar dan air kecil serta angin, maka hendaklah didahulukan shalatnya. Dan shalatnya sah, namun hukumnya makruh. Orang yang shalat dalam keadaan menahan hal-hal kotor tadi tetap mendapatkan pahala, namun tidak mencapai derajat orang-orang mukmin yang beruntung, yaitu orang-orang yang khusyu' di dalam shalatnya. (Lihat Taudhihul Ahkam 1/566)
  • Setiap selesai dari dua rakaat pada shalat malam, tidak ada dzikir padanya, wallahu a`lam.
  • Seorang musafir dapat melakukan jama' takdim atau ta'khir di dalam shalatnya dengan mengqasharnya. Dan tidak ada shalat sunnah bagi seorang musafir kecuali shalat sunnah sebelum subuh dan shalat witir karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan kedua shalat sunnah ini. (lihat Zadul Ma`ad 1/233)
    Adapun tentang masalah dzikir, memang tidak ada antara satu shalat dengan shalat lainnya yang akan dijama', karena riwayat-riwayat yang ada menjelaskan bahwa Bilal radliyallahu `anhu langsung iqamat untuk shalat berikutnya setelah selesainya mereka (para shahabat) dari shalat sebelumnya. Dan berdzikir tetap disunnahkan apabila selesai dari menjama' kedua shalat, karena hingga saat ini kami belum mendapatkan adanya riwayat yang menyatakan tidak adanya dzikir setelah menjama' dua shalat.
  • Melakukan jual beli dengan orang-orang non muslim adalah hal yang dibolehkan dan tidak termasuk hal yang merusak konsekwensi al-wala' wal bara' yang harus dipegangi setiap muslim. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sebagai penegak bendera al-wala' wal bara' juga berjual beli dengan seorang musyrik, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam membeli seekor kambing dari seorang lelaki musyrik, dan imam Ahmad juga meriwayatkan di dalam Musnadnya bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengambil 30 gantang gandum dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besi beliau. Kedua riwayat ini menjelaskan kepada kita bahwa berjual beli dengan orang non muslim diperbolehkan dalam Islam.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: "Pada asalnya tidak diharamkan bagi sesama manusia untuk melakukan muamalah yang mereka butuhkan, kecuali apa-apa yang dijelaskan Al-Qur'an dan as-sunnah tentang keharamannya." (Asy-Syar'iyyah hal. 155). Wallahu a`lam.
  •  

    Pertanyaan 3
    1. Ustadz, ana ingin bertanya: Apakah ada dalam sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika melayat orang yang meninggal dunia dengan membawa beras dan sejenisnya? Atas termuat dan terjawabnya risalah ini ananda ucapkan jazakallahu khairan.

    (Irdah, Kuningan

    Jawaban 3:

    Ananda Irdah, yang dituntunkan di dalam sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika melayat orang yang meninggal dunia bukanlah dengan membawa beras dan semisalnya, melainkan membuatkan makanan untuk keluarga yang ditinggal si mayyat. Seperti yang pernah diperintahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika sampai berita bahwa Ja'far bin Abu Thalib radliyallahu `anhu syahid di medan jihad. Beliau menyatakan yang artinya : "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far. Sungguh telah datang satu perkara yang menyibukkan mereka, atau telah datang kepada mereka hal-hal yang menyibukkan mereka." (Hadits shahih riwayat Abud Dawud dan yang lainnya. Lihat Ahkamul Jana'iz hal. 211).
    Wallahu a`lam.