Mukadimah Buletin Aqidah Manhaj Info Maluku Tanya-Jawab Pers

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertanyaan 1:
  1. Bolehkah kita membaca kitab-kitab ulama salaf yang sudah diterjemahkan tanpa disertai seorang guru ?
  2. Saya sudah berusaha untuk tidak su'udzan pada orang lain tentang sesuci. Tapi saya tetap tidak bisa menghilangkan kebiasaan saya waktu di LDII. Tolong Ustadz menjelaskan tentang sesuci yang sebenarnya.
  3. Saya berjanji pada ibu untuk tidak memberikan sesuatu lagi pada orang lain dan tanpa disadari janji tersebut seringkali saya langgar. Bagaimana hukum janji tersebut?

Atas jawabannya ana ucapkan jazakallahu khairan.
(Khaulah, Bandung)

Jawaban 1:

Ananda Khaulah, pertanyaan ananda kami jawab sebagai berikut:

  1. Membaca kitab-kitab ulama salaf yang sudah diterjemahkan adalah satu hal yang dibolehkan, selama penterjemahnya seorang yang terpercaya yang tidak menterjemahkan kitab-kitab ulama salaf sesuai dengan hawa nafsunya. Kemudian hendaknya juga ananda menanyakan hal-hal yang tidak jelas / kurang dimengerti di dalam kitab-kitab terjemahan itu kepada orang yang berilmu tentangnya. Karena Allah memerintahkan demikian di dalam firman-Nya: "Tanyalah oleh kalian kepada ahlu dzikir, kalau kalian tidak mengetahui." (An-Nahl: 43)
  2. Sesuci dalam pengertian LDII ialah keyakinan mereka bahwa amalan mensucikan diri, pakaian dan tempat harus dilakukan oleh orang yang segolongan dengan mereka. Sebab amalan orang yang tidak segolongan dengan mereka dianggap tidak sah berhubung ilmunya tidak sah karena tidak mankul (bersumber) dari guru mereka. Oleh karena itu orang Islam yang tidak segolongan dengan mereka dianggap tidak suci atau najis pada badannya, pakaiannya dan tempatnya. Dengan sebab itulah maka bila orang Islam yang tidak segolongan dengannya mencucikan pakaian atau tempat mereka, maka pakaian dan tempat itu harus dicuci kembali. Bahkan bila berjabat tangan atau bersentuhan dengan orang Islam dari golongan lain, harus pula bersuci, karena golongan lain itu dianggap tidak sesuci (yakni tidak satu cara yang sah dalam bersuci).
    Pemahaman yang demikian adalah ghuluw (melampaui batas) yang dilarang oleh syariah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian bersikap melampaui batas, karena yang demikian itu telah membinasakan umat sebelum kalian." (HR. ……….) Juga beliau bersabda kepada Abu Hurairah radliyallahu `anhu: "Seseorang muslim itu tidak menjadikan orang lain najis." (HR……….)
    Hal ini diucapkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap Abu Hurairah radliyallahu `anhu yang dalam keadaan junub. Seseorang atau suatu tempat atau pakaian atau air genangan dan lain-lainnya tidak dianggap najis, kecuali bila ada bau atau warna dari benda dan cairan yang najis. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam diatas.
  3. Hendaknya anda memperbaiki janji itu karena yang demikian tidak mencocoki syariat Allah; Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam

 

 

 

Pertanyaan 2:

Ustadz, pada edisi yang lalu telah dibahas di dalam majalah Salafy tentang fiqh sujud sahwi. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan bagi saya, yaitu:

  • Apakah pada duduk di antara dua sujud sahwi dibaca doa sebagaimana pada duduk antara dua sujud shalat biasanya?
  • Dan apakah perpindahan dari sujud sahwi ke duduk, kemudian ke sujud sahwi dibaca takbir intiqal?
  • Terima kasih atas penjelasan yang Ustadz berikan.
    (Herri, Tangerang)

    Jawaban 2:

    Saudara Herri, hingga saat ini kami belum mendapatkan adanya keterangan dari para ulama tentang bacaan doa pada saat duduk di antara dua sujud sahwi. Adapun takbir intiqal memang ada, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu `anhu –di dalam hadits yang panjang tentang lupanya Rasulullah pada waktu shalat Ashar hingga hanya melakukannya hanya dua rakaat--"…kemudian beliau shalat dua rakaat lagi dan kemudian salam. Kemudian takbir kembali lalu sujud seperti sujud biasanya atau lebih panjang, kemudian mengangkat kepalanya seraya bertakbir (takbir intiqal, pent), lalu meletakkan kepalanya dan bertakbir (takbir intiqal, pent). Kemudian beliau sujud seperti sujud biasanya atau lebih panjang, kemudian mengangkat kepalanya dengan bertakbir (takbir intiqal¸pent)." (Muttafaqun `alaihi)

     

    Pertanyaan 3

    Ustadz, ana ingin menanyakan beberapa hal pertanyaan yang selama ini mengganjal hati ana.

    1. Ayat yang berkaitan dengan surat An-Nur ayat ke 3 yang menyatakan bahwa laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina dan demikian sebaliknya. Apakah berzina sama dengan pezina? Bagaimana jika seorang wanita berzina karena terpaksa seperti diperkosa?
    2. Tentang anak laki-laki bibi yang sejak umur kira-kira 12 tahun sudah serumah, dan kini kelas II SMP. Apakah ia masih mahram? Kalau bukan bagaimana harus berhijab dengannya?
    3. Tentang mendengar musik tanpa disengaja dan bagaimana cara menghindarinya padahal musik itu di rumah sendiri?

    Atas jawaban Ustadz, ana ucapkan jazakallahu khairan.
    (Tri Lestari, Ngentak, Yogyakarta)

    Jawaban 3:

    Ananda Tri, pertanyaan ananda kami jawab sebagai berikut:

    1. Kalimat "berzina" dan "pezina" pengertiannya tidak berbeda karena "berzina" adalah istilah perbuatannya dan "pezina" untuk pelakunya. Hanya saja terkadang kalimat "pezina" digunakan / ditujukan kepada seseorang yang hobbi berzina. Adapun tentang seorang wanita berzina karena terpaksa seperti diperkosa, maka hukumnya tidak sama dengan seorang wanita yang berzina dikarenakan senang / suka sama suka. Sebab surat An-Nur ayat ke 3 tersebut turun karena seorang shahabat ingin menikahi wanita pelacur di kota Makkah (sebagaimana dijelaskan di dalam Tafsir Ibnu Katsir 3/352). Dan wanita yang diperkosa berlaku baginya sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
      "Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku: kesalahan (tanpa disengaja, pent), kelupaan dan apa-apa yang dipaksakan kepadanya." (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Baihaqi, lihat Misykatul Mashabih no. 6293)
      Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi di dalam kitabnya Minhajul Muslim (hal. 434-435).
    2. Tentang anak laki-laki bibi bukanlah mahram ananda, dan ia bisa saja menikah dengan ananda. Sehingga tidak ada alasan bagi ananda untuk tidak berhijab darinya. Maka ananda harus memakai pakaian muslimah di hadapannya, yaitu pakaian yang menutupi seluruh tubuh, tidak tipis dan tidak membentuk tubuh.
    3. Tentang mendengar musik tanpa disengaja tidaklah mengapa, selama tidak ada rasa senang ketika mendengarnya dan berusaha menghindarinya. Adapun suara musik tersebut di rumah ananda sendiri, maka berusahalah menasehati anggota keluarga dengan sopan dan lembut untuk meninggalkannya, dan sabarlah dalam usaha menasehati mereka karena Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hamba-hamba-Nya.
      Wallahu a`lam.