Mukadimah Buletin Aqidah Manhaj Info Maluku Tanya-Jawab Pers

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertanyaan 1:

Ustadz yang semoga dilimpahi rahmat oleh Allah, saya ingin bertanya:

  1. Bolehkah kita mengucapkan selamat hari raya pada orang kafir? Bagaimana kalau orang itu masih ada hubungan saudara dengan kita?
  2. Apakah kita telah keluar dari Islam (dengan amalan kekufuran) tanpa kita sadari karena kita tidak tahu apakah kita mati dalam keadaan kafir?
  3. Apakah kaum lelaki boleh berambut panjang?

Atas jawaban Ustadz saya ucapkan jazakumullahu khairan katsira.
(M. Hardiyanto, Cilacap)

Jawaban 1:

 

  1. Ananda Hardiyanto, mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir adalah perkara yang diharamkan dengan kesepakatan para ulama, karena yang demikian bertentangan dengan kaidah al-bara' (berlepas diri) dari mereka. Dengan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka berarti sama saja dengan mengucapkan selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah, dan ucapan yang demikian lebih diharamkan dan dimurkai Allah. Bahkan dari ucapan selamat yang diperuntukkan kepada pezina, peminum khamr, pencuri dan semisalnya atas perbuatan mereka. Demikian dijelaskan Ibnul Qayyim di dalam Ahkamul Ahludz Dzimmah 1/205.
    Adapun alasan bahwa mereka masih ada hubungan saudara, maka cukuplah ayat-ayat Allah di bawah ini sebagai jawabannya yang artinya :"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (Al-Mujadalah: 22).
    Firman ALLAH "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu, wali-walimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali-walimu, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim." (At-Taubah: 23).
    Firman ALLAH : "Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata." (Al-Mumtahanah: 4).
    Kemudian, tentang amalan (kufur) yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam tanpa ia sadari, maka yang demikian tetap menjadikan seseorang itu kafir apabila ia mati dan belum bertaubat darinya. Karena kebodohan / ketidaktaahuan tentang amalan kufur tidaklah bisa dimaafkan dan dimaklumi bagi setiap orang yang sudah dewasa dan mendapat beban tanggung jawab menjalankan syariat, karena agama Islam sudah tersebar dan tidak tersembunyi lagi.
    Allah berfirman: "(Mereka Kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa': 165)
    Ibnu Katsir berkata di dalam Tafsirnya: "Maksudnya ialah bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus rasul-rasul-Nya dengan membawa kabar gembira dan peringatan, apa yang diridlai dan dicintai-Nya dan apa yang dibenci dan tidak disukai-Nya sehingga dengan ini tidak ada lagi alasan bagi orang yang mencari-cari alasan (dari kesalahannya)." (Tafsir Ibnu Katsir 1/784).
    Yang demikian ini dikecualikan bagi seseorang yang tinggal di negeri kafir dan sama sekali belum sampai kepadanya dakwah, maka ia dimaafkan karena belum sampai dakwah kepadanya, bukan karena kebodohannya. Demikian yang dijawab oleh Lajnah Daimah di Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh bin Baz rahimahullah (Lihat Aqidatul Muwahiddin hal. 459).
  2. Adapun tentang rambut panjang bagi lelaki, maka yang demikian tidaklah mengapa asalkan tidak melebihi pundak karena yang demikianlah batas yang dijelaskan di dalam riwayat Ibnu Majah dari Aisyah radliyallahu `anha dengan sanad yang shahih (Lihat Mukhtashar Asy-Syamail Muhammadiyyah karya Syaikh Al-Albani hal. 34-35). Wallahu a`lam bis shawab.

 

Pertanyaan 2:
  1. Ustadz yang semoga dilindungi Allah, saya mau tanya bagaimana acara syukuran / selamatan sebelum nikah atau pun sesudahnya, atau syukuran pada acara khitanan?
    Atas jawabannya saya ucapkan jazakumullahu khairan katsira.
(A. K di bumi Allah).

Jawaban 2:

  1. Acara syukuran / selamatan sebelum nikah ataupun sesudahnya atau syukuran pada acara khitanan adalah perkara yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maupun shahabatnya. Dan amalan seperti ini (seakan) sudah menjadi keharusan di masyarakat kita sekarang ini pada acara pernikahan, setelah mengadakan walimahan yang disyariatkan, mereka masih mengadakan lagi acara syukuran / selamatan. Demikian pula setelah acara khitanan, mereka mengadakan pesta dan perayaan.
    Padahal khitan adalah hukum syar'i, dan setiap yang disandarkan kepadanya haruslah berlandaskan kepada kitab dab sunnah. Sedangkan perayaan, pesta dan syukuran / selamatan (setelah khitanan) di masyarakat kita sekarang ini dianggap sebagai perkara yang termasuk dari acara khitanan yang semampunya diamalkan. Yang demikian ini butuh kepada dalil. (Lihat Ahkamul Maulud Syaikh Salim Ali Ali Rasyid As-Syibli dan Syaikh Muhammad Khalifah Muhammad Ar-Rabah hal. 114-116). Wallahu a`lam.

 

Pertanyaan 3
  1. Ustadz yang semoga selalu dalam bimbingan Allah. Ana ingin menanyakan tentang batasan aurat yang boleh diperlihatkan dengan sesama muslimah. Karena ana pernah memperoleh informasi bahwa aurat muslimah yang boleh dilihat muslimah lain adalah lengan dari leher ke atas dari dari mata kaki ke bawah. Dan ini berarti betis tidak boleh dilihat. Sedangkan informasi lain bahwa aurat muslimah yang boleh dilihat sesama muslimah adalah lengan dari leher ke atas dan dari lutut ke bawah, yang berarti betis boleh dilihat. Mohon penjelasannya.
    (Dewi, di bumi ALLAH)

Jawaban 3:

  • Ananda Dewi, tentang masalah batasan aurat wanita / muslimah dengan sesamanya, maka pada hakikatnya batasannya tidaklah beda dengan batasan aurat laki-laki dengan sesama laki-laki yaitu apa yang di bawah pusar dan di atas lutut. Sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Qudamah rahimahullah di dalam kitab beliau (Al-Mughni 6/562). Beliau berkata setelah penjelasan aurat lelaki dengan sesama lelaki: "Dan hukum (batasan aurat) wanita dengan sesama wanita adalah sama dengan hukum (batasan aurat) lelaki dengan sesama lelaki."
    Adapun dalil tentang batasan aurat lelaki dengan sesama lelaki yaitu apa-apa yang di antara bawah pusat dan di atas lutut diriwayatkan Imam Ahmad di dalam Musnadnya 2/187, Abu Dawud di dalam Sunannya hadits 495/496 dan Al-Baihaqi 7/94 dengan sanad yang hasan. (Lihat Jami' Ahkamun Nisa Kitabul Adab hal. 19-20, karya Syaikh Musthafa Al-Adawi).
    Dan wanita sama hukumnya dengan lelaki berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
    "(Kaum) wanita itu adalah seperti kaum lelaki." (Hadits hasan lighairi, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
    Wallahu a`lam.
  • Pertanyaan 4
    1. Ustadz ana ingin bertanya, apakah membatalkan wudlu apabila seorang ibu menyentuh kemaluan anak kecilnya yang masih balita? Contohnya: setelah wudlu ia membersihakn kemaluannya setelah anak tersebut kencing (mencebo'i).
      Atas jawabannya ana ucapkan Jazakumullahu khairan katsira.
      (Aini, Madiun)

     

    Jawaban 4:

    1. Seorang ibu yang menyentuh kemaluan anaknya tidaklah membatalkan wudlunya karena tidak adanya dalil yang menjelaskan hal ini. Demikianlah yang dijelaskan Syaikh Musthafa Al-Adawi di dalam kitab beliau Jami' Ahkamun Nisa 1/41. Wallahu a`lam.